Fog Lamp, Bukan Sekadar Pemanis Wajah
Fog lamp alias lampu kabut merupakan fitur standar kendaraan modern. Peranti ini bukan hanya pemanis desain wajah, tapi banyak gunanya. Fog lamp dipakai pada saat cuaca buruk. Di iklim tropis seperti Indonesia, fog lamp dipakai ketika hujan lebat, apalagi jika terjadi pada malam hari, dataran tinggi atau jalanan sedang berkabut.
Persepsi yang salah seputar penggunaan fog lamp kerap dijumpai ketika kondisi jalan normal, alias tidak terjadi hujan lebat atau berkabut. Banyak pengendara yang menyalakan fog lamp menjelang petang, sedangkan lampu utama (head lamp) tidak dinyalakan.
Padahal pendaran cahaya head lamp lebih menyebar jauh ke arah depan, ketimbang sorotan fog lamp yang cenderung fokus ke satu arah. Memang jika menghidupkan lampu kabut, pandangan jarak dekat lebih jelas. Tapi jarak yang lebih jauh jadi tidak tersinari dengan baik.
Selain itu, pada saat berkendara pada kecepatan tinggi, sangat tidak dianjurkan menyalakan lampu kabut. Sebab jangkauan cahaya yang sangat terbatas dan sinarnya lebih merunduk ke arah bawah dengan membentuk sudut sekitar 45-50 derajat. Ini sangat riskan, karena jarak pandang ke obyek yang lebih jauh di depan tidak terpantau optimal.
Kesalahan penggunaan lampu kabut juga kerap dilakukan ketika mobil masuk ke gang sempit. Mungkin niatnya ingin menghargai pengguna jalan yang lain. Tapi pendaran sinar yang lebih menyorot ke satu arah dan justru menyilaukan. Malah bisa menggangu pengguna jalan dari arah berlawanan.
Pemakaian fog lamp di kendaraan paling dominan mengandalkan cahaya kuning atau putih kekuningan. Hal ini lantaran mata manusia punya kemampuan lebih tinggi, saat menyerap pantulan balik sinar dari obyek yang tersorot lampu.
Selain itu, warna putih seakan tak banyak membantu penerangan saat kondisi hujan lebat atau berkabut. Sementara cahaya kuning lebih kuat menerobos pekatnya hujan. Karena partikel warna kuning tak sepenuhnya terserap aspal atau kondisi cuaca sekitar.